Selasa, 12 Mei 2009

Pembelokan Makna ACIS

Oleh Henri Shalahuddin

Alumnus Institut Studi Islam Darussalam (ISID) Pondok Modern Gontor

Perhelatan Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) in Indonesia VII yang dilaksanakan di Pekanbaru, 21-24 November baru saja usai. Konferensi tahunan ini mengangkat tema ‘Konstribusi ilmu-ilmu keislaman dalam menyelesaikan masalah-masalah kemanusiaan pada millenium ketiga’ dan terlaksana atas kerja sama Direktorat Pendidikan Tinggi Islam Departemen Agama RI dan UIN Suska Riau.

Sejumlah harapan memajukan kualitas studi Islam di Tanah Air, tentu banyak ditujukan pada hasil konferensi bergengsi yang dihadiri oleh utusan-utusan dari perguruan tinggi agama Islam (PTAI), peneliti dan LSM se-Indonesia ini. Apalagi studi Islam di Indonesia akhir-akhir ini kehilangan peminatnya dari tahun ke tahun.

Sebagai upaya untuk mewujudkan peran pusat kajian keislaman par-excellent, sejak tahun 2001 program pascasarajana PTAI merintis forum kajian berkala tahunan yang diberi nama annual conference kajian Islam. Perhelatan annual conference ini dilaksanakan berturut-turut mulai 2001 di Semarang, Padang, Yogyakarta, Aceh, Makassar, dan Bandung. Forum ini dalam perkembangannya kemudian dapat dinilai sebagai barometer perkembangan kajian dan pemikiran keislaman di Indonesia.

Liberalisasi studi Islam
Jauh panggang dari api. Itulah kesan penulis ketika membandingkan antara tema yang diusung ACIS VII dan realitas isu-isu yang dibahas dalam konferensi. Alih-alih ingin memberikan konstribusi lmu keislaman dalam menyelesaikan masalah kemanusiaan, sebaliknya ACIS justru dijadikan ajang untuk meliberalkan studi Islam di lingkungan PTAI dengan cara yang tidak bermartabat. Dalam sesi paralel ‘Islam dan Masalah Hak Asasi Manusia (HAM)’ misalnya, pembahasan banyak difokuskan pada usaha menghujat hukum Islam, ulama fikih yang bermartabat, dan memposisikan MUI sebagai terdakwa.

Dalam makalah ‘Mengubah Wajah Fikih Islam’ misalnya, diusulkan munculnya corak fikih baru yang bernuansa pluralis yang menjamin hak kebebasan dalam beragama, termasuk hak untuk menafsirkan agama. Selanjutnya pemakalah menuding fatwa MUI yang menyatakan kelompok Ahmadiyah sesat dan menyesatkan telah merampas hak kebebasan ini dengan cara membenturkannya dengan Resolusi Majelis Umum PBB 217A (III) 1948 dan UUD 1945 Pasal 28E dan Pasal 29.

Di samping itu, dia juga mengusulkan dibuatnya fikih berkeadilan gender sebagai ganti fikih patriarkhi, fikih non-rasial pengganti fikih rasial, dan fikih lokal Indonesia pengganti fikih lokal Arab. Maka bisa dipahami bahwa dalam merumuskan kitab fikih, para fuqaha terdahulu dituduh membawa kepentingan subjektif yang bertujuan menegakkan hegemoni kearabannya, jauh dari motif keislaman dan pengabdian.

Selanjutnya, dalam mengamati fenomena perdagangan perempuan yang marak terjadi di Indonesia, seorang pemakalah mempertanyakan efektivitas peran partai politik Islam, perda syariah di beberapa daerah, institusi pendidikan Islam, dan maraknya pembangunan rumah ibadah yang terbukti mandul menangani masalah ini. Mencermati euforia perda syariah misalnya, dengan sinis pemakalah mengatakan, "Di Indonesia beberapa euforia, ternyata tidak ada implikasinya, adanya perda tentang wajib busana Muslim, kayaknya perempuan saja yang salah itu."

Penyaji lainnya yang membawakan tema’ Menakar Kebebasan Beragama di Indonesia’, menegaskan bahwa agama dan beragama adalah semata-mata untuk manusia bukan untuk apapun atau siapapun. Oleh karena itu tidak ada hak pada apapun atau siapapun termasuk Tuhan untuk memaksakan agama tertentu kepada manusia. Dalam uraiannya, kebebasan beragama secara operasional didefinisikan pemakalah juga sebagai kebebasan untuk tidak beragama. Pemakalah juga menyesalkan pembekuan aliran-aliran yang dianggap sesat seperti Ahmadiyah, Al Qiyadah Al Islamiyyah, dan sebagainya.

Sedangkan pemakalah terakhir dengan tema ‘Agama dan Negara’ di antaranya menyoroti praktik politik agama di Indonesia yang belum mengakui semua jenis agama dan keyakinan di Indonesia, dan masih terbatas pada lima atau enam jenis agama saja. Terkait dengan masalah kolom agama dalam KTP, pemakalah usul agar kolom itu dihapus, karena menurutnya adanya kolom tersebut sangat potensial memunculkan diskriminasi hak-hak sipil warga negara.

ACIS VII yang merupakan forum terhormat, justru dinodai pihak yang berwawasan antiperbedaan dengan mengundang tokoh yang telah difatwa murtad dan terbukti melecehkan keilmuan Islam seperti Nasr Hamid Abu Zayd untuk menjadi narasumber. Walaupun akhirnya kehadiran Abu Zayd digagalkan setelah adanya resistensi kuat dari masyarakat Riau, namun hal ini tidak memberi pelajaran bagi pihak pendidikan tinggi Islam Depag RI.

Bahkan dalam pidato sambutan pembukaan ACIS, seorang direktur mengumumkan bahwa Abu Zayd berjanji akan hadir pada acara Seminar Internasional di UNISMA Malang. Perkembangan informasi akhirnya menyatakan Abu Zayd juga dibatalkan tampil di forum tersebut, karena adanya desakan tokoh-tokoh agama di Malang.

Abu Zayd, seperti yang dipaparkan dalam buku Alquran Dihujat (GIP, Jakarta: Mei 2007) telah menyeru umat Islam untuk meninggalkan Alquran dan Hadits (lihat karya Abu Zayd: Al-Imam Al-Syafi’i: 2003). Di samping itu dia juga menghalalkan homoseksual dan mempersalahkan umat Islam yang tetap memandangnya sebagai perilaku yang menyimpang (Voice of an Excile: 2004). Lebih lanjut, Abu Zayd terbukti telah melecehkan ulama sekaliber Imam Syafi’i dan menuduh beliau sebagai ideolog Quraisy yang oportunis, menjilat penguasa, dan selalu menggiring ideologi Islam demi menegakkan supremasi suku Quraisy. Namun demikian, mengapa pihak penyelenggara kukuh memilih tokoh yang hobi melakukan kekerasan intelektual ini sebagai narasumber?

Apa motif di balik semua ini?
Meskipun Abu Zayd tidak hadir, namun buku murid kesayangannya Orientalisme, Alquran dan Hadis, telah diproyekkan untuk dibagikan kepada peserta ACIS VII. Sebenarnya buku ini bukanlah karya akademis yang utuh, namun merupakan kumpulan paper kelas seminar ‘Orientalisme, Alquran dan Hadis’ yang diampunya bersama dosen lainnya di program pascasarjana UIN Yogyakarta. Ringkasnya, buku ini cenderung membela kajian orientalis terhadap Alquran dan menyarankan untuk tidak menempatkan Alquran pada wilayah yang ’sakral’ dan sarat dengan pelbagai nilai keutamaan religius saat melakukan pengkajian terhadapnya. Lalu apakah relevansinya bagi kemajuan studi Alquran, sehingga karya dosen pengantar buku Menggugat Otensitas Wahyu Tuhan ini harus dimiliki semua peserta?

Catatan akhir
Konferensi tahunan yang bertujuan mulia ini adalah tradisi keilmuan yang harus dipertahankan. Namun demikian, proses penyeleksian makalah dan narasumber hendaknya tidak dominasi pihak tertentu yang justru bisa merendahkan kedudukan konferensi keilmuan yang bermartabat ini. Tampilnya narasumber asing non-Muslim untuk berbicara tentang studi Islam di depan para akademisi Muslim adalah bukti betapa peran agen-agen Barat di lingkungan Departemen Agama RI dalam menentukan arah studi Islam di PTAI tidak bisa dipandang sebelah mata.

Ikhtisar
- Forum mulia yang bernama Annual Conference on Islamic Studies (ACIS) mengalami distorsi.
- Berbagai ekspresi subjektif yang menghujat kemuliaan Islam dikembangkan dalam forum ini.
- Yang muncul dalam forum ini bukanlah wacana sehat yang mengembangkan kajian Islam, tapi liberalisasi studi Islam.

Sumber : Republika Onlin

0 komentar: